Kamis, 02 Februari 2017

Klenteng Jombang



Keunikan Klenteng Hong San Kiong di Jombang
Terdapat Wayang Potehi Berusia 150 Tahun
Selain banyak dijumpai Pondok Pesantren, tetapi di kota santri Jombang juga terdapat sebuah klenteng tua yang terletak di kawasan Gudo. Yaitu Klenteng Hong San Kiong. Berikut hasil liputan wartawan posmo.
Lokasi Klenteng ‘Hong San Kiong’ berada di tepi jalan raya Gudo, di antara pemukiman penduduk. Lokasinya yang berada tepat di ujung jalan pada simpang pertigaan itu membuatnya sangat mudah dikenali.
Menjelang datangnya Hari Raya Imlek, puluhan patung dewa yang ada di Klenteng Hong San Kiong, Desa/Kecamatan Gudo, Jombang dimandikan dengan air kembang. Para umat Tri Dharma berharap, datangnya Imlek membawa keberkahan.
Satu per satu patung yang berjajar itu dikeluarkan. Termasuk patung dewa tertua di Klenteng itu, yakni Kong Cong Kong Tik Tjoeng Ong. Selanjutnya, pakaian yang membalut patung tersebut dilepas. Air yang bercampur kembang juga disiapkan.
Tahap akhir, patung itu dimandikan secara bergantian. Bau harum langsung tercium. Setelah semuanya beres, patung para dewa itu dikembalikan ke tempat semula. Selain patung, altar yang digunakan untuk sesembahan juga dibersihkan oleh pengikut Tri Dharma.
Memandikan patung dewa merupakan ritual tiap tahun menjelang datangnya Imlek. "Kami berharap perayaan Imlek berjalan damai. Sehingga suasana rukun tetap terjaga," kata hari Purwanto pengurus klenteng.
Pada bagian depan klenteng terdapat pintu masuk dengan ornamen berbentuk burung garuda di sebelah kanan dan kiri. Di bagian bawah ornamen garuda itu terdapat aksara Cina. Klenteng ini banyak dikunjungi bukan saja oleh orang Tionghoa, tetapi juga non Tionghoa.
Klenteng ini diperkirakan berdiri pada abad 17-dan merupakan klenteng tertua di Jombang. Bangunan yang berdiri di atas lahan seluas 16,200 m2 dengan luas bangunan 3,500 m², merupakan simbol asimilasi antara warga pribumi dan pendatang etnis Tionghoa di Jombang.
"Klenteng tersebut merupakan tempat ibadah umat Tri Dharma di Desa Gudo, termasuk paling tua di Kabupaten Jombang, yakni dibangun pada abad 17. Imlek jatuh pada 28 Januari 2017. Makanya segala persiapan kita lakukan, termasuk memandikan patung para dewa," ujar Hari Purwanto, pengurus klenteng.
Di klenteng ini terdapat beberapa altar dewa yang disembah. Yang pertama Kong Co Kong Tik Tjoen Ong yang altarnya terletak di tengah ruang depan. Lalu ada Dewa Bumi Kong Co Hong Tik Tjoen Sing terletak di sebelah kiri. Tak jauh di sebelah kiri Dewa Bumi terdapat Dewa Langit Kong Co Hyang Tfian Sing Tee. Di sisi kanan terdapat altar Dewa Kebenaran Kwan Sing Tee Koen. Dan di bawah tempat peristirahatan rumah dewa terdapat kendaraan Kong Cu Kong Tik Tjoen Ong yang disebut Bing Hoe Ciang Koen.
Klenteng ini juga menyediakan fasilitas penyembuhan bagi masyarakat yang ingin berobat secara tradisi Cina. Menariknya, yang datang ke sana (berobat, red), tidak hanya dari para pengikutnya, tetapi juga penganut agama lain termasuk kaum muslimin.
Warga etnis Tionghoa di sekitar Klenteng Hong San Kiong ini juga ada yang piawai membuat barongsai. Salah satu kesenian asli warga keturunan Tionghoa, bahkan karya mereka sudah dipergunakan oleh komunitas-komunitas barongsai di seluruh Indonesia.
Menariknya, setiap hari pukul 15.30 dan 19.00 WIB digelar pertunjukan wayang potehi. Bicara tentang kebangkitan kembali wayang potehi, tak bisa lepas dari keberadaan Klenteng Hong San Kiong di Gudo, Kabupaten Jombang. Tak sebatas di Jawa Timur, klenteng ini menjadi markas Paguyuban Wayang Potehi Fu He An ini, boleh jadi merupakan satu-satunya pusat pelestarian wayang potehi di Indonesia.
Toni Harsono, ketua Klenteng Hong San Kiong sekaligus ketua Paguyuban Wayang Potehi Fu He An, merupakan tokoh pelestari di balik geliat wayang potehi di Gudo. Toni adalah generasi ketiga seniman potehi di Indonesia.
Kakek Toni, Tok Su Kwie, adalah seorang sehu yang datang langsung dari Negeri Tiongkok. Bersama Tan Hing Gie, salah seorang pemain musik yang setia mengiringinya, mereka mendarat di pantai utara Pulau Jawa di penghujung abad ke-19 dan menetap di Gudo hingga akhir hayatnya.
Melestarikan Tradisi
Tok Hong Kie, ayah Toni Harsono, menjadi penerus jejak sehu Tok Su Kwie melestarikan tradisi potehi hingga masa-masa sulit ketika Pemerintah Orde Baru memberangus segala sesuatu yang berbau Tionghoa di paruh kedua tahun 1960-an.
Namun, meski menjadi keturunan langsung seniman-seniman potehi, Toni Harsono justru tidak melanjutkan profesi sebagai seorang sehu, mengikuti wasiat sang ayah yang tidak menghendaki keturunannya untuk melanjutkan profesi ini, mengingat pengalaman hidupnya sebagai seorang sehu yang penuh dengan keprihatinan dan keterbatasan. Karenanya, ungkapan cinta dan kepeduliannya akan wayang potehi diwujudkannya dengan perhatian dan berbagai upaya demi lestarinya wayang potehi di Indonesia, khususnya di Jombang, tempat kelahiran yang sangat dicintainya.
Peninggalan sang kakek, kini menjadi salah satu koleksinya yang paling berharga, berupa puluhan wayang potehi asli berusia tak kurang dari 150 tahun, lengkap dengan dekorasi panggungnya. Koleksi bersejarah yang telah melintasi samudera luas, dari Negeri Tiongkok ke Tanah Jawa. Meski sebagian dengan kondisi rusak, sisa-sisa keindahannya masih tampak.
Koleksi asli yang di negeri asalnya bahkan telah jarang dijumpai ini, memandunya untuk menciptakan boneka-boneka baru. Pengukir kayu andal sengaja didatangkan dari Jepara. Tak sebatas mengukir kepala boneka potehi, mereka juga membuat duplikat properti dan dekorasi panggung yang sesuai dengan aslinya. Busana mini warna-warni yang menghiasi tubuh boneka potehi diserahkan kepada tukang bordir dan penjahit khusus di Jombang dan Tulungagung. Sementara pengecatan ekspresi wajah dan pembentukan akhir wujud boneka lebih banyak dilakukannya sendiri.
Memang, tak setiap sehu selalu memiliki kotak boneka sendiri dan selama ini mereka biasa menggunakan koleksi yang dimilikinya tanpa dipungut biaya sepeser pun. Posisi Toni sebagai salah satu pengusaha sukses di Jombang memungkinnya untuk mengemban posisi penting dalam pelestarian seni tradisi ini. Bukan sebagai sehu sebagaimana ayah dan kakeknya, namun menjadi seorang maecenas lokal dengan perhatian spesifik terhadap kelestarian wayang potehi. Sebuah posisi unik yang tergolong langka.
Sementara itu Widodo, pemain, dalang, sekaligus pembuat wayang potehi mengatakan kalau pertunjukan wayang Potehi di klenteng untuk sementara vakum. Lantaran banyak diantara pemainnya yang kini kerap melakukan pementasan di luar.
Dalam sekali pementasan biasanya membutuhkan waktu sekitar 4 jam dengan 25 cerita. Untuk wayangnya sendiri sekitar 155 biji dengan beragam karakter masing-masing. “Dalang di sini umumnya justru bukan dari keturunan Tionghoa melainkan asli Jawa,” jelasnya.

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentar melalui emai
sialahkan saja melakukan demonstrasi, akan tetapi gunakanlah dengan cara-cara damai dan jangan sampai memacetkan jalan raya yang merugikan masyarakat