Kamis, 02 Februari 2017

Mbah Banjar /Sunan Lamongan




Kisah Sunan Banjar Syiar Islam di Paciran Lamongan 
Mengislamkan Mbah Mayang Madu
Sunan Banjanr merupakan seorang ulama yang berasal dari Kalimantan. Datang ke Lamongan untuk mnyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat setempat yang masih memeluk agama Animisme dan Dinamisme. Bagaimana kisahnya syiar Islamnya. berikut ini. 
Pada tahun  1440-an Sunan Banjar melakukan perjalanan lewat laut dari Kalimantan menuju Pulau Jawa. Karena waktu itu hubungan antara  kedua masyarakat di dua pulau tersebut cukup terjalin dengan baik melalui perdagangan.
Pada saat menuju Pulau Jawa Sunan Banjar mengalami masalah. kapalnya karam ditengah lautan. Ia mampu berenang dan berhasil mendarat di pantai  desa Banjaranyar yang pada waktu itu masih bernama kampong Njelaq.
Sunan Banjar  kemudian ditolong oleh mbah Mayang Madu, seorang penguasa di kampong Njelaq dan merupakan penganut ajaran agama Hindu, yang memang suka menolong  orang-orang yang terdampar di wilayah kekuasaannya.
Setelah beberapa minggu berdiam di rumah Mbah Mayang Madu, Sunan Banjar melihat situasi masyarakat setempat menganut  berbagai macam kepercayaan terhadap kekuatan ghaib dan roh-roh leluhur. Sedangkan agama yang sedang berkuasa di kerajaan Majapahit masa itu adalah agama Siwa Budha.
Melihat kondisi tersebut , maka Sunan Banjar terketuk hatinya untuk menyebarkan ajaran agama Islam ditengah-tengah masyarakat  dengan cara-cara yang santun tanpa harus  melakukan pemaksaan. 
Langkah pertama yang dilakukan Sunan banjar adalah dengan  mengajak Mbah Mayang Madu agar mau agar bersedia  masuk Islam.  Hal itu dilakukan, jika Mbah Mayang Madu berhasil di Islamkan, maka sudah barang tentu rakyat sekitar akan masuk Islam.
Berkat keteguhan, kesabaran dan ketekunan beliau dalam berjuang akhirnya beliau berhasil meng-Islamkan Mbah Mayang Madu. Tanpa memaksa. Karena mengetahui ajaran Islam merupakan ajaran yang sesuai dengan hati nurani. bahkan  dapat dijadikan sebagai pedoman kehidupan.
Dengan masuk Islam Mbah Mayang Madu,  maka  proses penyebaran Islam semakin berkembang. Mbah Mayang Madu menyokong dan memberi dukungan penuh tanpa ada pamrih.
Selanjutnya, beliau bersama Mbah Mayang Madu saling bahu-membahu di dalam memperjuangkan misi sucinya, yakni menyebarkan ajaran Islam yang agung demi tegaknya kalimat tauhid “laa ilaha illallah”. Dengan berbagai macam rintangan mereka hadapi dengan penuh kesabaran, ketabahan dan semangat perjuangan.
Dalam kurun waktu yang singkat kampong Njelaq banyak yang memeluk agama Islam. kemudian Sunan Banjar berfikiran ingin mendirikan sebuah lembaga pendidikan secara permanen. Kemudian  berunding dengan Mbah Mayang Madu selaku tokoh masyarakat mengenai tenaga pengajarnya. darisitu muncul ide untuk menemui Sunan Ampel di Surabaya.
Akhirnya Sunan  Banjar bersama dengan Mbah Mayang Madu sowan menghadap kanjeng Sunan Ampel di Ampeldenta, Surabaya. Di sana beliau menyampaikan keinginannya untuk mendirikan pondok pesantren dan sekaligus mohon bantuan tenaga pengajar yang ahli dibidang ilmu-ilmu Diniyah.
Sunan Ampel sangat senang mendengar tujuan Sunan Banjar dan dengan senang hati  mengabulkan permohonan dan berjanji akan menugaskan putranya, R. Qosim untuk pergi ke Banjaranyar agar dapat membantu perjuangan Sunan Banjar dan Mbah Mayang Madu di tempat tersebut.
beberapa minggu kemudian Sunan Ampel mengutus putranya Raden Qosim atau Sunan Drajad untuk pergi ke Lamongan guna membantu Sunan Banjar melewati jalur laut. Saat berada ditengah laut muncul badai. Sehingga kapalnya karam.
Sunan Drajad mencoba berenang untuk menyelamatkan diri dan ditolong oleh ikan. Hingga akhirnya sampai dipinggir pantai. Kemudian ditolong Mbah Mayang Madu. Darisinilah awal perjuangan Sunan Drajad  bersama Sunan Banjar menyebarkan ajaran Islam.
Setelah berjalan beberapa tahun, Sunan Banjar berpulang ke Rahmatullah. Beliau dimakamkan di desa Banjaranyar bagian utara. Kemudian menyusul Mbah Mayang Madu pun wafat, beliau dimakamkan di belakang masjid Njelaq dan mendapat julukan Sunan Jelaq.
Sepeninggalan Mbah Banjar dan Mbah Mayang Madu, maka tinggallah Kanjeng Sunan Drajat yang melanjutkan usaha-usaha yang sebelumnya dirintis oleh beliau bersama almarhum.
Dalam usahanya untuk menyebarkan agama Islam kepada masyarakat yang ada di sekitarnya, R. Qosim juga menggunakan pendekatan seni budaya. Pendekatan ini dilakukan dengan menggunakan metode kesenian guna menarik perhatian masyarakat sekitar yang pada waktu itu masih beragama Hindhu-Budha. Sehingga karena itulah beliau menciptakan tembang pangkur dan menggunakan alunan suara gamelan atau gending untuk mengumpulkan masa di masjid yang telah didirikan oleh Mbah Mayang Madu tersebut dinamakan masjid Nggendingan. Demikian luwesnya R. Qosim dalam memfungsikan masjid benar-benar mengena di masyarakat.
Dalam perjuangannya beliau dibantu oleh para santrinya yang menjadi pembantu setia dalam mengemban misi. Suka duka perjuangan silih berganti mewarnai kehidupan Kanjeng Sunan Drajat dan para santrinya di Banjaranyar.
Dibantu Sunan Drajad
Waktupun terus berlalu, kian hari perkembangan pondok pesantren di Banjaranyar mengalami kemajuan yang sangat pesat, sikap permusuhan yang dating dari para penduduk berubah menjadi kecintaan yang dalam.
Para pemuda banyak yang berdatangan dari daerah-daerah ke pondok pesantren guna menimba ilmu agama kepada beliau. Mereka itulah yang kemudian dikader menjadi para da’I dan mubaligh yang tangguh, tabah dan berkompeten lalu disebarkan kepelosok negeri atau kembali ke kampung halamannya sambil membawa misi Islam.
Kanjeng Sunan Drajat mendapatkan gelar Sunan Mayang Madu. Adapun istri beliau yang kedua adalah seorang putri Kediri yang bernama Retno Condro Sekar Putri Adipati Surya dilaga, beliau dimakamkan berdampingan dengan makam Kanjeng Sunan Drajat. Dari kedua istri beliau inilah Kanjeng Sunan Drajat mendapat keturunan yang akhirnya berkembang dalam suatu keluarga besar yang tersebar hingga saat ini. HUSNU MUFID
Desa di mana beliau mendirikan masjid tersebut akhirnya diberi nama desa Drajat, adapun masjid yang telah dibangun Kanjeng sunan Drajat sendiri pada tahun 1424 Jawa atau 1502 M. Kini telah musnah akibat gempa bumi yang pernah terjadi dua ratus tahun yang silam, namun sebagai gantinya, di tempat tersebut kini telah didirikan masjid yang direnovasi sebagaiman bentuk aslinya.
Pada masa Kanjeng Sunan Drajat inilah desa Banjaranyar, Drajat dan sekitarnya menjadi sentral pendidikan dan aktifitas keagamaan serta menjadi mercusuar penyebaran Islam di daerah pesisir pantai utara khususnya di daerah Paciran. Akhirnya beliau wafat pada tanggal 25 Sya’ban dan dimakamkan di belakang masjid tempat beliau mengajar sebagaimana yang telah kita saksikan saat ini.
Dalam kehidupan berumah tangga. Kanjeng Sunan Drajat mempunyai dua istri beliau yang pertama adalah putrid Mbah Mayang Maduyang makamnya terletak di belakanhg masjid Jelaq, Banjaranyar dank arena itulah setelah Mbah Mayang Madu meninggal.
Keberhasilan perjuangan Kanjng Sunan Drajat di Banjaranyar tidaklah membuat beliau menjadi puas, lalu duduk berpangku tangan sambil berongkang-ongkang kaki menikmati hasil perjuangannya, akan tetapi hal tersebut justru mendorong beliau untuk lebih giat dalam mengembangkan agama Islam tempat lain. Karena itulah, beliau membangun sebuah masjid di kampung sentoro yang letaknya persis di sebelah timur komplek makam Sunan Drajat, seabagai tempat beliau memberikan pengajian mengajar dan emndidik para santrinya.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Saya orang banjaranyar. Asli

Posting Komentar

silahkan komentar melalui emai
sialahkan saja melakukan demonstrasi, akan tetapi gunakanlah dengan cara-cara damai dan jangan sampai memacetkan jalan raya yang merugikan masyarakat