Rabu, 19 Maret 2014

Pesantren Kholidiyah Kutoarjo



KH Kholid Ridwan, Pengasuh Pondok Pesantren Roudotul Kholidiyah Kutoarjo Jateng
Dikenal Pemberani Menghadapi Penjajah

Kiai yang satu ini dikenal cukup berani. Bahkan semasih muda, dia ikut melawan Belanda dan memiliki benda yang berfungsi membuat tubuh menjadi kebal pedang dan senjata api. Aneh, karena benda itu berupa kapuk yang diberi ayahnya.  Berbagai pondok pesantren besar pernah didatangi, bahkan pernah menjadi murid Mbah Maksum Lasem. Beliau adalah KH Kholid Ridwan, pengasuh Ponpes Roudlotul Kholidiyah Kutoarjo, Jawa Tengah.

Kapuk Kebal
Sejak muda, Kholid  sudah mendapatkan pendidikan  agama dari orang tuanya. Maklumlah, beliau merupakan putra seorang ulama besar yakni KH Ridwan dan juga pejuang kemerdekaan khususnya dalam hal agama. Di luar pesantren, juga mendapat pendidikan umum dari Belanda ongko loro dan sekolah Jepang
Namun  sekolahnya ini sempat terputus-putus, gara-gara di Indonesia terjadi perang.akibat clas antara Belanda ke I dan II. Maka sekolahnya terpaksa dan  mengungsi ke pegunungan. Di tempat pengungsian dan  tinggal di rumah bekas santri kakeknya selama satu tahun.
Di saat mengungsi itu, Kholid Ridwan yang masih usia muda tidak tinggal diam, melainkan ikut berjuang melawan penjajah Belanda. Meskipun hanya sebatas menyampaikan surat dan membantu persoalan administrasi pejuang-pejuang kemerdekaan yang datang dipesantren. Seperti anak buah Bung Tomo yang tergabung dalam Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI).
“Saya waktu itu ikut berjuang bersama mereka. Ayah mengasih  kapuk agar dipegang saat menjalankan tugas. Konon, kapuk itu bisa kebal senjata tajam dan tembak. Sementara pejuang-pejuang lainnya diberi air putih,” ujar KH Kholid Ridwan  

Mengembara
Setelah perang selesai,  pulanglah ia dari pengungsian dan melanjutkan pendidikan agama di rumah. Diajar oleh orang tuanya sendiri yang kemudian melanjutkan   di Pesantren Al Qur’an Kiangkong pimpinan KH Satibi. Di pesantren ini, Kholiq ngangsu kaweruh selama    selama 6 tahun dengan hanya mempelajari  ilmu salaf.
Kemudian akhir tahun 1955,  melanjutkan pendidikan   ke Lasem di Pesantren Al Hidayah milik Mbah KH Maksum hingga tahun 1962. Belum puas sampai di situ, beliau memperdalam ilmunya dengan melanjutkan lagi ke  Pesantren Kedung Lurah Brongkah Trenggalek di bawah asuhan KH Abdullah Umar selama 7 tahun.
 “Selama  menuntut ilmu saya tidak mengalami kesulitan. Karena dari rumah mendapat kiriman makanan yang  cukup. Sehingga tinggal belajar ilmu alat yang di berikan kiai,” ujarnya.
Setamat memperdalam ilmu di Pesantren  Kedung Lurah, beliau pun mengakhiri pengembaraan ke pesantren lain dan ke rumahnya dan mengajar di pesantren yang didirikan kakeknya KH Abdullah Faqih.
Dipesantren ini, ilmu yang selama ini didapat  berupa Nahwu Sorof, Fikih, Jurmiyah, Fatkhul Mu’in, Fatkhul Wahab, Alfiyah, Takrib diajarkan  pada santri-santrinya. Tanpa mengenal pamrih.  Beberapa tahun kemudian, beliau pun mendapat tugas melanjutkan perjuangan orang tuanya yang telah meninggal dunia.
Hampir tidak ada hambatan dalam mengendalikan pesantren, sebagaimana dialami kakeknya yang terus diuber-uber Belanda. Meski begitu, beliau tidak mau memanfaatkan untuk berbuat KKN dengan pemerintah Orde Baru. Dana yang diberikan pemerintah tidak dilakukan untuk membangun pesantren, tapi dimanfaatkan untuk kepentingan santri-santrinya, karenanya hingga kini onpes yang dipimpinnya tetap sederhana.
Kegigihannya menjadikan pondok pesantren yang dimiliki sebagai tempat pengkaderan santri-santri maupun masyarakat yang datang mengaji, sempat menjadikan kemarahan para Ninja. Karena itu,  bupati   mengundang bersama puluhan kiai di pendopo kabupaten guna memberitahu kalau 25 kiai di Kutoarjo akan dibunuh oleh Ninja.
Namun panggilan itu tidak digubris. KH Kholid  Ridwan tidak mau datang.  Sementara  banyak kiai yang datang dan kemudian  mengungsi untuk menghindari serbuan Ninja sewaktu-waktu. Sedangkan bagi yang tidak mengungsi,  memerintahkan santri-santrinya untuk menjaganya. “Saya sendiri tidak takut sama Ninja. Padahal  diingatkan bupati, camat dan polsek. Hanya Allah yang saya takuti. Yang penting tidak takabur. Hati mantab. Nyatanya Ninja tidak sampai masuk  ke pesantren. Hilang dengan sendirinya,”ujarnya.
Sikap yang demikian itu  merupakan sikap yang nyata dalam menghadapi  keangkara murkaan. Sebagaimana yang dialami kakeknya sewaktu menghadapi Belanda dan ancaman pembunuhan PKI. husnu mufid    

     

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentar melalui emai
sialahkan saja melakukan demonstrasi, akan tetapi gunakanlah dengan cara-cara damai dan jangan sampai memacetkan jalan raya yang merugikan masyarakat